Syukur

Syukur
Alhamdulillah.... Tiba-tiba berserasi dengan rasa segar di seluruh sendi-sendi kita. Makanya syukur pun, bila dilihat dari jendela hati kita, rasanya tak pernah cukup untuk mengimbangi nikmat-nikmat Allah swt. pada kita. Kesadaran betapa segala puji hanya layak bagiNya, dan kesadaran betapa pujian kita tak layak untuk selayakNya dipuji, bahkan ketakberdayaan untuk mensyukuri karena ketakterhinggaan nikmatNya, justru adalah cara syukur kita yang benar.

Namun jumlah orang bersyukur itu minoritas. Sedangkan mayoritas manusia tidak bersyukur. Mayoritas manusia memandang nikmat dari wujudnya, bukan pada Sang Pemberi nikmat. Mayoritas manusia menunggu datangnya nikmat, padahal ia berada dalam nikmat itu sendiri.

Mayoritas manusia memperkarakan momentum nikmat, karena kebiasaannya memuaskan nafsunya, lalu nikmat itu dihubungkan dengan pemuasan-pemuasan diri. Kapan manusia pernah puas? Dan jika demikian kapan mau bersyukur? Memandang Sang Pemberi nikmat secara terus menerus, membuat anda menjadi ikon dari syukur itu sendiri.

Tetapi nafsu seringkali tak tahan dengan datangnya dan tampilnya nikmat. Ketidaksiapan nikmat telah
merubah menjadi istidroj (covernya nikmat, dalamnya bencana). Apakah anda juda sudah begitu lama
tenggelam dalam lembah Istidroj ini? Na’udzubillah.

Tak ada kebahagiaan tanpa rasa syukur dan ridho, tak ada rasa syukur dan ridho tanpa rasa menerima (qona’ah) dan kepasrahan diri, dan tak ada kepasrahan dan qona’ah tanpa anda belajar untuk zuhud.

Mauludan Yang Bercahaya

Mauludan Yang Bercahaya
Maulid Nabi saw, terus diperingati. Semangat cinta pada Sang Nabi saw, tak lekang oleh krisis dan situasi, tak surut oleh godaan orang yang membid’ahkan maulid, tak retak oleh keragaman orang yang merayakannya.

Namun cinta kepada Nabi, adalah cinta kepada Allah swt.
Membuktikan cinta itu haruslah mengikuti jejak Nabi, baik secara lahir, secara batin maupun sampai jati diri rahasia batin. Bahkan kita masuki cahaya Nabi, kita menjadi cermin dari cahayanya, sekadar pantulan cahaya agungnya, agar kita benar-benar bergabung dengan Nabi kita. Makanya gemuruh sholawat dan salam kepadanya, beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan bersama bermilyar bibir yang bergetar dengan sholawat. Allah, para Malaikat dan mereka yang beriman.

Siapa pun di dunia ini tak berhak menghalangi cinta kepadanya. Siapa pun tak berhak melarang mencintainya. Apa pun alasannya.Karena itu esensi Maulid bukan sekadar perayaan, apalagi bertakjub riya dengan hingar bingarnya. Esensinya pada peneladanan jejaknya, dan segalanya akan menjadi ringan jika harapannya hanyalah Allah, hari akhir dan dzikir.

Jangan biarkan Maulid demi Maulid berlalu tanpa makna, tanpa perubahan diri menuju lebih dekat kepadaNya. Jika demikian adanya, apalah makna cahaya yang membias pada diri kita?

Guruku Bambang Polosoro

Gusdur

Gusdur
Gus Dur, sejak munculnya seperti Joko Tingkir, mengobrak-abrik kebobrokan masyarakat, merobek sekelumit kumal ummat, mendongkel kekuasaan yang diktator, dan mengajak bersunyi senyap di tengah keramaian kehidupan modern. Seperti kakeknya, Joko Tingkir, yang mampu melawan “40 buaya” dan mematikan Kebo Edan yang mengamuk, maka representasi di alam dewasa ini, adalah Gus Dur yang penuh dengan gugatan, pencerahan, pendidikan dan kepedulian serta kasih sayang.

Joko Tingkir telah lulus ujian menapaki maqomat dalam Thariqat Sufi, hingga menuntaskan 40 maqomat, yan.g setiap maqomat ada tantangannya, ujiannya, yang disimbolkan dengan .ganasnya binatang buaya. Setiap tantangan dan cobaan hingga 40 tahap yang ganas telah dilaluinya, dan Joko Tingkir, benar-benar meraih kebeningan akal sehat “Thingkir” (Kenthing Pikir). Saat menjadi “Thingkir”, ia melawan Kebo Ndanu (kerbau gila yang mengamuk), .sebagai simbol dari kebodohan, emosional, kebinatangan, dan kebobrokan mental penguasa saat itu. Siapa pun yang menjadi penguasa harus .mengalahkan semua itu, “kerbau” yang ada dalam jiwa dan otaknya.

Gerakan Gus Dur yang telah muncul sejak tahun 80-an, genap dua puluh tahun Gus Dur berjuang, layaknya si Joko Tingkir, di satu sisi harus Mujahadah untuk melawan 40 buaya nafsu dalam dirinya, di sisi lain harus keluar dengan menantang dan mengalahkan kebodohan, kemunduran, kediktatoran, kezaliman, yang bersembunyi di balik nama .agama, nama bangsa, bahkan nama Tuhan.

Dan sekarang, Gus Dur sedang berada di depan Sang Kekasih, semoga pantulan Cinta dan Kasih-Nya, membias ke seluruh generasi bangsa ini. Itulah, barangkali, cara kita ber-tawassul, m.elalui Gus Dur. Amin. Bila seorang hamba telah merasa menanjak derajatnya di hadapan Allah, dan terus berambisi untuk naik derajatnya, sampai pada titik ia baru

menyadari bahwa seluruh perjalanan ruhaninya tak lebih dari nafsu yang menjijikkan. Karenanya nafsu harus .ditinggalkan, dan segeralah menuju Gerbang Allah Ta’ala.

Awal ketundukannya adalah Muthmainnahnya nafsu, lalu hanya ingin kembali kepadaNya, kemudian hanya .ingin meraih ridho dan terlimpahi ridhoNya. Nafsu memang mendorong pada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati olehNya.