Syukur

Syukur
Alhamdulillah.... Tiba-tiba berserasi dengan rasa segar di seluruh sendi-sendi kita. Makanya syukur pun, bila dilihat dari jendela hati kita, rasanya tak pernah cukup untuk mengimbangi nikmat-nikmat Allah swt. pada kita. Kesadaran betapa segala puji hanya layak bagiNya, dan kesadaran betapa pujian kita tak layak untuk selayakNya dipuji, bahkan ketakberdayaan untuk mensyukuri karena ketakterhinggaan nikmatNya, justru adalah cara syukur kita yang benar.

Namun jumlah orang bersyukur itu minoritas. Sedangkan mayoritas manusia tidak bersyukur. Mayoritas manusia memandang nikmat dari wujudnya, bukan pada Sang Pemberi nikmat. Mayoritas manusia menunggu datangnya nikmat, padahal ia berada dalam nikmat itu sendiri.

Mayoritas manusia memperkarakan momentum nikmat, karena kebiasaannya memuaskan nafsunya, lalu nikmat itu dihubungkan dengan pemuasan-pemuasan diri. Kapan manusia pernah puas? Dan jika demikian kapan mau bersyukur? Memandang Sang Pemberi nikmat secara terus menerus, membuat anda menjadi ikon dari syukur itu sendiri.

Tetapi nafsu seringkali tak tahan dengan datangnya dan tampilnya nikmat. Ketidaksiapan nikmat telah
merubah menjadi istidroj (covernya nikmat, dalamnya bencana). Apakah anda juda sudah begitu lama
tenggelam dalam lembah Istidroj ini? Na’udzubillah.

Tak ada kebahagiaan tanpa rasa syukur dan ridho, tak ada rasa syukur dan ridho tanpa rasa menerima (qona’ah) dan kepasrahan diri, dan tak ada kepasrahan dan qona’ah tanpa anda belajar untuk zuhud.